Siang tadi 4 Jun 2013 kami dalam
perjalanan dari Kuantan ke Seremban, buka radio dalam kereta siaran
Pahang FM. Tazkirah yang amat menyentuh perasaan saya dan isteri yang
mendengarnya dengan begitu khusyuk sekali. Kisahnya seorang ulamak
yang begitu berani menegur pemerintah pada ketika itu. Ulamak
tersebut ialah Abu Hazim Salamah bin Dinar, manakala pemerintah
tersebut ialah Khalifah Sulaiman bin Malik.
Apabila Khalifah Sulaiman dan segala
pembesar dan alim ulamak dari Damaskus, ibu kota khalifah Umayyah
melawat Madinah semua pembesar Madinah berpusu-pusu hendak berjumpa
dengan hajat masing-masing. Namun Khalifah Sulaiman perasan Kadi dan
Imam Madinah pada ketika itu iaini Abu Hazim tidak datang
menyambutnya.
Lalu Khalifah Sulaiman memerintahkan
pegawai khasnya memanggil Abu Hazim mengadap. Berlakulah dailog yang
begitu panjang antara Abu Hazim dan Khalifah Sulaiman, dimana sebelum
ini tiada ulamak yang berani menegur Khalifah Sulaiman melainkan Abu
Hazim.
Dailognya semakin menarik apabila
Khalifah Sulaiman tertarik akan nasihat yang diberikan oleh Abu
Hazim.
Setelah selesai dailog dan Khalifah
berpuas hati dengan Abu Hazim, lalu Khalifah menawarkan kepada Abu
Hazim apa saja permintaan, Khalifah akan menunaikannya.
Abu Hazim tidak berkata apa-apa dan
tidak meminta apa-apa. Setelah didesak Abu Hazim berkata , beliau
takut Khalifah tidak akan dapat menunaikan permintaannya. Khalifah
terus mendesak. Lalu Abu Hazim berkata “Selamatkan aku dari api
neraka dan masukkan aku dalam syurga”. Itulah satu-satunya
permintaan Abu Hazim kepada Khalifah, tersentak Khalifah mendengarkan
permintaan Abu Hazim yang tidak akan dapat ditunaikannya.
Penceramah dalam Pahang FM berseloroh
kalau kita jumpa pemerintah negara sekarang ini, apa yang kita minta,
tanah, balak, biasiswa?
Ada lagikah ulamak yang seberani dan
begitu lunak bercakap menasihati pemerintah seperti Abu Hazim pada
zaman ini tanpa mengharapkan sebarang ganjaran dunia, pangkat, harta
dan kekayaan?
Kisah sepenuhnya di bawah ini dari
sumber
http://kisahislam.net/2011/09/10/kisah-tabiin-salamah-bin-dinar-abu-hazim-al-araj/
Kisah Tabi’in : Salamah bin Dinar
(Abu Hazim Al-A’raj)
Pada tahun 97 H, khalifah muslimin,
Sulaiman bin Abdul Malik menempuh perjalanan ke negeri yang
disucikan, memenuhi undangan bapak para nabi, yakni Ibrahim As.
Iring-iringan itu bergerak dengan cepat dari Damaskus, ibukota
kekhalifahan Umawiyah, menuju Madinah Al-Munawarah.
Ada rasa rindu pada diri khalifah di
raudhah nabawi yang suci dan rindu untuk mengucapkan salam atas
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rombongan
tersebut disertai para ahli qurra’ (ahli Al-Qur’an), muhadditsin
(ahli hadits), fuqaha (ahli fikih), ulama, umara’ dan para perwira.
Setibanya khalifah di Madinah dan
menurunkan perbekalan, orang-orang dan para pemuka Madinah
menghampiri mereka untuk mengucapkan salam dan menyambut khalifah.
Akan tetapi Salamah bin Dinar sebagai
Qadhi dan Imam kota yang terpercaya, ternyata tidak termasuk dalam
rombongan manusia yang turut menyambut dan mengucapkan salam kepada
khalifah.
Setelah selesai melayani orang-orang
yang menyambutnya, Sulaiman bin Abdul Malik bertanya kepada
orang-orang yang dekat dengannya, “Sesungguhnya hati itu bisa
berkarat dari waktu ke waktu sebagaimana besi bila tidak ada yang
mengingatkan dan membersihkan karatnya.” Mereka berkata, “Benar
wahai amirul mukminin.” Lalu beliau berkata, “Tidak adakah di
Madinah seorang yang bisa menasihati kita, seseorang yang pernah
berjumpa dengan para sahabat Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ada
wahai amirul mukminin, di sini ada Abu Hazim Al-A’raj.”
Beliau bertanya, “Siapa itu Abu
Hazim?” Mereka menjawab, “Dialah Salamah bin Dinar, seorang alim,
cendekia dan imam di kota Madinah. Beliau termasuk salah satu tabi’in
yang pernah bersahabat baik dengan beberapa sahabat utama.”
Khalifah berkata, “Kalau begitu, panggillah beliau kemari, namun
berlakulah sopan kepada beliau!”
Para pembantu dekat khalifah pun pergi
memanggil Salamah bin Dinar.
Setelah Abu Hazim datang, khalifah
menyambut dan membawanya ke tempat pertemuannya.
Khalifah, “Mengapa Anda demikian
angkuhnya terhadapku wahai Abu Hazim?”
Abu Hazim, “Angkuh yang bagaimana
yang Anda maksud dan Anda lihat dari saya wahai amirul mukminin?”
Khalifah, “Semua tokoh Madinah datang
menyambutku, sedangkan Anda tak menampakkan diri sama sekali.”
Abu Hazim, “Dikatakan angkuh itu
adalah setelah perkenalan, sedangkan Anda belum mengenal saya dan
saya pun belum pernah mengenal Anda. Maka keangkuhan mana yang telah
saya lakukan?”
Khalifah, “Benar alasan Syaikh dan
khalifah telah salah berprasangka. Dalam benakku banyak masalah
penting yang ingin aku utarakan kepada Anda wahai Abu Hazim.”
Abu Hazim, “Katakanlah wahai amirul
mukminin, Allah tempat memohon pertolongan.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, mengapa
kita membenci kematian?”
Abu Hazim, “Karena kita memakmurkan
dunia kita dan menghancurkan akhirat kita. Akhirnya kita benci keluar
dari kemakmuran menuju kehancuran.”
Khalifah, “Anda benar. Wahai Abu
Hazim, apa bagian kita di sisi Allah kelak?”
Abu Hazim, “Bandingkan amalan Anda
dengan Kitabullah, niscaya Anda bisa mengetahuinya.”
Khalifah, “Dalam ayat yang mana saya
dapat menemukannya?”
Abu Hazim, “Anda bisa temukan dalam
firman-Nya yang suci, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak
berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan
sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka,” (Al-Infithar: 13-14).
Khalifah, “Jika demikian, dimanakah
letak rahmat Allah?”
Abu Hazim, (membaca firman Allah),
“Sesungguhnya rahmat Allah dekat sekali dengan mereka yang berbut
kebajikan.”
Khalifah, “Lalu bagaimana kita
menghadap kepada Allah kelak, wahai Abu Hazim?”
Abu Hazim, “Orang-orang yang baik
akan kembali kepada Allah seperti perantau yang kembali kepada
keluarganya, sedangkan yang jahat akan datang seperti budak yang
curang atau lari lalu diseret kepada majikannya dengan keras.”
Khalifah menangis mendengarnya sampai
keluar isaknya kemudian berkata,
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, bagaimana
cara memperbaiki diri?”
Abu Hazim, “Dengan meninggalkan
kesombongan dan berhias dengan muru’ah (menjaga kehormatan).”
Khalifah, “Bagaimana cara
memanfaatkan harta benda agar ada nilai takwa kepada Allah?”
Abu Hazim, “Bila Anda mengambilnya
dengan cara yang benar dan meletakkan di tempat yang benar pula, lalu
Anda membaginya dengan merata dan berlaku adil terhadap rakyat.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, jelaskan
kepadaku, siapakah manusia yang paling mulia?”
Abu Hazim, “Yaitu orang-orang yang
menjaga mur’ah dan bertakwa.”
Khalifah, “Lalu perkataan apa yang
paling besar manfaatnya?”
Abu Hazim, “Perkataan yang benar,
yang diucapkan di hadapan orang yang ditakuti dan diharap
bantuannya.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, do’a
manakah yang paling mustajab?”
Abu Hazim, “Do’anya orang yang baik
untuk orang yang baik.”
Khalifah, “Sedekah manakahnya yang
paling utama?”
Abu Hazim, “Sedekah dari orang yang
kekurangan kepada orang yang memerlukan tanpa menggrutu dan kata-kata
yang menyakitkan.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, siapakah
orang yang paling dermawan dan terhormat?”
Abu Hazim, “Orang yang menemukan
ketaatan kepada Allah, lalu diamalkan dan diajarkan kepada orang
lain.”
Khalifah, “Siapakah orang yang paling
dungu?”
Abu Hazim, “Orang yang terpengaruh
oleh hawa nafsu kawannya padahal kawannya tersebut orang yang zhalim.
Maka pada hakikatnya dia menjual akhiratnya untuk kepentingan dunia
orang lain.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, maukah
engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan
Anda mendapatkan sesuatu dari kami?”
Abu Hazim, “Tidak, wahai amirul
mukminin.”
Khalifah, “Mengapa?”
Abu Hazim, “Saya khawatir kelak akan
condong kepada Anda sehingga Allah menghukum saya dengan kesulitan di
dunia dan siska di akhirat.”
Khalifah, “Utarakanlah kebutuhan Anda
kepada kami wahai Abu Hazim.”
Abu Hazim tidak menjawab sehingga
khalifah mengulami pertanyaannya, “Wahai Abu Hazim, utarakan
hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya.”
Abu Hazim, “Hajat saya adalah selamat
dari api neraka dan masuk surga.”
Khalifah, “Itu bukan wewenang kami,
wahai Abu Hazim.”
Abu Hazim, “Saya tidak memiliki
keperluan selain itu wahai amirul mukminin.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim,
berdo’alah untukku.”
Abu Hazim, “Ya Allah, bila hamba-Mu
Sulaiman ini adalah orang yang Kau cintai, maka mudahkanlah baginya
jalan kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jika dia termasuk
musuh-Mu, maka berilah dia hidayat kepada apa yang Engkau sukai dan
Engkau ridhai, Amin.”
Salah satu hadirin berkata, “Alangkah
buruknya perkataanmu tentang amirul mukminin. Engkau sebutkan
khalifah muslimin barangkali termasuk musuh Allah, kamu telah
menyakti perasaannya.”
Abu Hazim, “Justru perkataanmu itulah
yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para
ulama agar berkata jujur, ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu
kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,’ (Ali Imran:
187).”
Beliau menoleh kepada khalifah seraya
berkata, “Wahai amirul mukinin umat-umat terdahulu tinggal dalam
kebaikan dan kebahagiaan selama para pemimpinnya selalu mendatangi
ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kemudian muncullah
kaum dari golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi
para amir untuk mendapatkan sesuatu kesenangan dunia. Selanjutnya
para amir tak lagi menghiraukan perkataan para ulama, maka mereka pun
menjadi lemah dan hina di mata Allah. Seandainya segolongan ulama itu
tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi para amir, tentulah
amir-amir tersebut akan mendatangi mereka untuk mencari ilmu. Tetapi
karena para ulama menginginkan apa yang di sisi para amir, maka para
amir tak mau lagi menghiraukan ucapannya.”
Khalifah, “Anda benar. Tambahkanlah
nasihat untukku, wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati
hikmah yang lebih dekat dengan lidahnya daripada Anda.”
Abu Hazim, “Bila Anda termasuk orang
yang suka menerima nasihat, maka apa yang saya utarakan tadi
cukuplah sebagai bekal. Tetapi bila tidak dari golongan itu, maka
tidak perlulah aku memanah dengan busur yang tidak ada talinya.”
Khalifah, “Wahai Abu Hazim, aku
berharap Anda mau berwasiat kepadaku.”
Abu Hazim, “Baiklah, akan saya
katakan dengan ringkas. Agungkanlah Allah dan jagalah jangan sampai
Dia melihat Anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah
Anda berada di tempat yang diperintahkan-Nya.”
Setelah itu, Abu Hazim mengucapkan
salam dan mohon diri. Khalifah berkata, “Semoga Allah membalas Anda
dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasihati.”
Setibanya di rumah, Abu Hazim mendapati
sekantung dinar dari amirul mukminin yang disertai surat berbunyi,
“Pergunakanlah harta ini, dan bagi Anda masih ada persediaan yang
semisalnya di sisiku.” Namun beliau mengembalikan harta tersebut
disertai surat balasan,
“Wahai amirul mukminin, saya
berlindung kepada Allah apabila pertanyaan-pertanyaan Anda kepada
saya hanya Anda anggap iseng dan jawaban saya pun bathil. Demi Allah,
saya tidak rela hal itu terjadi pada diri Anda, lalu bagaimana saya
bisa merelakannya untuk diri saya sendiri? Wahai amirul mukminin,
bila dinar-dinar ini adalah imbalan atas kata-kata yang saya
sampaikan kepada Anda, maka memakan bangkai dang daging babi dalam
keadaan terpaksa adalah lebih halal daripadanya. Namun apabila ini
memang hak saya dari Baitul Mal Muslimin, apakah Anda memberikannya
sama besar dengan bagian muslimin yang lainnya?”
Tempat tinggal Salamah bin Dinar adalah
madrasah yang cocok bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu dan
menghendaki kebaikan. Tidak ada bedanya baik saudara ataupun
muridnya.
Pernah suatu ketika Abdurrahman bin
Jarir datang bersama anaknya. Keduanya mengambil tempat duduk di sisi
beliau dan memberi salam kemudian mendoakan kebahagiaan dunia dan
akhirat untuk beliau.
Keduanya disambut oleh Abu Hazim dan
beliau membalas dengan salam yang lebih baik. Kemudian terjadilah
perbincangan antara mereka.
Abdurrahman, “Wahai Abu Hazim,
bagaimana Anda mendapatkan hati yang hidup itu?”
Abu Hazim, “Dengan membersihkan diri
dari dosa-dosa besar. Bila seorang hamba bertekad meninggalkan dosa,
maka terbukalah baginya kehidupan hati. Jangan pula dilupakan, wahai
Abdurrahman, sedikit dari dunia ini melalaikan banyak dari akhirat
kita. Dan setiap nikmat yang tidak mendekatkan engkau kepada Allah,
maka itu menjadi siksa bagimu.”
Putra Abdurrahman, “Guru kita amatlah
banyak. Lalu siapakah diantara mereka yang harus dijadikan teladan,
wahai ayah?”
Abdurrahman, “Wahai putraku, ambillah
teladan dari mereka yang takut kepada Allah dalam keadaan sembunyi,
mereka yang menahan diri dari keburukan, memperbaiki diri di masa
muda dan tidak menunda hingga datang hari tuanya. Ketahuilah wahai
anakku, tidak ada satu hari di mana matahari terbit kecuali datang
kepada penuntut ilmu tersebut nafsu dan ilmunya. Keduanya saling
berlomba untuk mengalahkan di dalam dirinya. Bila ilmunya menang
atas nafsunya, maka itulah hari keberentungan baginya. Tetapi bila
nafsunya yang mengalahkan ilmunya, maka itulah hari kerugiannya.”
Kemudian Abdurrahman menoleh kepada Abu
Hazim sambil berkata, “Wahai Abu Hazim, seringkali kita memperoleh
sesuatu yang harus kita syukuri. Lantas bagaimana sebenarnya hakikat
syukur itu?”
Abu Hazim, “Untuk setiap bagian dari
tubuh kita adalah syukur.”
Abdurrahman, “Bagaimana cara
mensyukuri kedua mata kita?”
Abu Hazim, “Bila melihat kebaikan,
engkau menyebarkannya, dan bila melihat keburukan, engkau
menutupinya.”
Abdurrahman, “Bagaimana cara
bersyukur dengan kedua telinga kita?”
Abu Hazim, “Bila mendengar kebaikan,
engkau tersadar dan bila mendengar kejahatan, engkau
menyembunyikannya.”
Abdurrahman, “Bagaimana syukurnya
kedua tangan?”
Abu Hazim, “Jangan menggunakannya
untuk mengambil yang bukan hakmu dan jangan kau pakai untuk
menghalangi hak-hak Allah. Jangan lupa wahai Abdurrahman, bahwa siapa
yang membatasi syukurnya hanya dengan lidahnya tanpa menyertakan
anggota badannya, maka dia seperti seorang yang memiliki pakaian yang
hanya dibawa dengan tangannya namun dia tidak memakainya. Maka dia
tidak bisa terhindar dari terik matahari dan hawa dingin.”
Suatu ketika Salamah bin Dinar
menyertai pasukan muslimin menuju wilayah Romawi untuk berjihad fi
sabilillah. Setelah mencapai pos terakhir perjalanannya, pasukan
beristirahat terlebih dahulu sebelum menghadapi musuh dan terjun
dalam kancah peperangan.
Pasukan itu dipimpin oleh seorang
komandan dari Bani Umayah. Pada kesempatan ini, dia mengutus
seseorang kepada Abu Hazim.
Utusan itu berkata, “Amir memanggil
Anda agar Anda membacakan hadits kepada beliau dan ingin belajar dari
Anda.”
Maka Abu Hazim menulis surat untuk
disampaikan kepada komandan pasukan, berbunyi sebagai berikut, “Wahai
komandan, saya sudah pernah berjumpa dengan para ahli ilmu dan
mereka tidak pernah membawa ilmunya kepada orang-orang yang
mengutamakan dunia. Saya rasa Anda juga tak ingin saya menjadi orang
yang berbuat demikian. Bila Anda memerlukan saya, datanglah kemari.
Semoga keselamatan bagi Anda dan orang-orang di sekeliling Anda.
Setelah membaca surat itu, komandan
pasukan mendatangi Abu Hazim. Dia memberi salam lalu berkata, “Wahai
Abu Hazim, kami sepakat dengan apa yang Anda tulis itu. Kami hargai
nasihat Anda. Tambahkanlah peringatan dan nasihat kepada kami, semoga
Anda mendapatkan balasan dengan lebih baik.”
Kemudian Abu Hazim memberikan
peringatan dan nasihat-nasihatnya. Di antara yang beliau sampaikan
adalah, “Perhatikanlah apa yang Anda sukai kelak di akhirat,
kemudian bersemangatlah untuk mendapatkannya. Perhatikan pula hal-hal
yang tidak Anda sukai di sana, maka berzuhudlah terhadapnya di dunia
ini. Ketahuilah wahai komandan, bila kebatilan lebih Anda sukai dan
Anda biarkan merajalela, maka yang akan datang dan mengelilingi Anda
adalah orang-orang yang bathil dan munafiq. Bila kebenaran yang lebih
Anda sukai, niscaya Anda akan dikelilingi oleh orang-orang yang baik
dan suka membantu. Oleh sebab itu, pilihlah mana yang lebih Anda
sukai.”
Ketika menjelang ajal, Abu Hazim
Al-A’raj ditanya oleh para sahabat beliau, “Bagaimana keadaan
Anda wahai Abu Hazim?” beliau berkata, “Bila kita selamat dari
keburukan dunia ini, maka tiadalah memadharatkan kita apa yang tidak
kita dapatkan di dunia?” Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang berimana dan beramal shalih, kelak
Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih
sayang,” (Maryam: 96).
Beliau mengulang-ulang ayat tersebut
hingga ajal menjemputnya.
Sumber: Buku “Mereka Adalah Para
Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan
1 ulasan:
satu kisah yg padat dengan nasihat dan teladan yg amat berguna kita pelajari dan praktikannya...insyaAllah
Catat Ulasan